Senin, 21 Oktober 2013

CURRICULUM VITAE OF IBLIS

NAMA : Iblis ( QS.Al-Kahfi )

GELAR : Laknatullahi'alaih ( QS. Hijr : 34-35 )

LAHIR : Sebelum Adam 'alaihi sallam diciptakan ( QS. Hijr :27 )

KANTOR : Toilet,rumah yang tidak disebut nama Allah dan rumah yang di dalamnya terdapat patung makhluk hidup dan gambar makhluk hidup. (Shahih Abu Dawud no 6, Shahih Muslim no 1940,1364 )

ALAMAT TETAP : Neraka Jahannam ( QS.Al-Isra' :62-63 ; QS.Al-An'am :128 )

SINGGASANA : Diatas air (lautan ) ( Shahih Muslim no 2409 )

AGAMA : Kafir (QS. 2:34 ; QS. 72 :11-14)

JABATAN : Panglima tinggi kekufuran dan kesyirikan (QS. 14: 22 ; QS.59: 16 )

MASA JABATAN : Sejak menolak bersujud kepada Nabi Adam 'alaihi sallam sampai hari kiamat (QS. 15 : 32-38 )

JUBIR : Dukun dan Paranormal (Shahih Muslim no 2086 )

ISTRI/ KEKASIH : Wanita yang telanjang dan pamer aurot ( Sunan At-Tirmidzi no 1173 )

CITA-CITANYA : Ingin membuat semua manusia kafir dan masuk neraka semuanya (QS. 15: 39 ; QS.59 : 16)

MISI : Memisahkan hubungan suami istri ( Shahih Muslim no 2409 )

MOTTO : Maksiat itu Indah ( QS.15:39)

HOBI : Menyesatkan manusia ( QS. 7: 16-17 )

MAKANAN FAVORIT : Tulang ( Hadist Tirmidzi no 18 )

JUMLAH ANAK DAN NAMANYA :

Ada 5, namanya ;

1, Tabr ; Dia adalah pembawa musibah yang menyebabkan manusia menampar pipi-pipi mereka, menyobek saku, dan ucapan-ucapan jahiliyyah yang keluar dari mulut mereka ketika bersedih.

2, A'war ; Dia adalah pembawa ZINA yang menyuruh manusia untuk melakukan zina dan hal-hal yang menjurus pada ketertarikan sexual, baik LAWAN JENIS MAUPUN SESAMA JENIS .

3, Miswath ; Dia adalah pembawa dusta yang mendengar sesuatu lalu dia mendatangi seseorang lalu menyampaikannya apa yang telah di dengarnya.

4, Dasim ; Tugasnya menyusup ke dalam diri seseorang,lalu orang tersebut menampakkan cela kepada keluarganya, sehingga membuat keluarganya marah-marah

5, Zaknabur ; Dia adalah penguasa pasar, baik yang tradisional maupun yang modern...seperti mall dll. ( Perangkap syaiton ( Talbis Iblis) Ibnul Jauzi hal :37 Penerbit Pustaka Al-Kautsar)

KELEBIHAN : Bisa tampil dalam wujud anjing hitam, manusia biasa ( Hadist Tirmidzi no: 1486 ; Muslim no: 1122 )

PASSWORD BAGI PENGIKUTNYA : "AKU" (kalimat kesombongan) QS.Shaad :76 )

 
Jika ada yang datang kepada anda membawa lamaran kerja dengan Curriculum Vitae di atas, apakah anda mau menerimanya sebagai karyawan anda bahkan sebagai tangan kanan anda ?

Allah subhaanahu wa ta'ala berfirman dalam QS.Faathir (35) ayat 6 : " Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya syaitan - syaitan itu HANYA MENGAJAK GOLONGANNYA SUPAYA MEREKA MENJADI PENGHUNI NERAKA YANG MENYALA-NYALA.#

Curriculum Vitae Iblis ini diadaptasi dari kitab " Wiqoyah al Insaan min al Jinn wa al Syaithon", Syaikh Wahid Abdussalam Bali.

Naudzubillahimindzalik
Semoga kita dijauhkan dari godaan syetan yang terkutuk. Aamiin

***

Senin, 18 Maret 2013

Hukumnya Mark Up APBD

Deskripsi masalah:
Sudah menjadi gejala umum bahwa proyek-proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah/ swasta yang memenangkan tender berupaya mengeruk keuntungan yang besar dengan berbagai cara yang dianggap tidak menyalahi aturan karena adanya standart penetapan harga dari pemerintah setempat.

Contoh : pembebasan tanah untuk jalan tol harga per meter persegi Rp 100.000,-. Namun dalam pelaksanaan kenyataannya di bawah standart dan bervariasi, ada yang Rp 20.000,- ; Rp 50.000,- ; 80.000,-. Hal yang demikian tadi juga berlaku dalam pembelanjaan bahan bangunan seperti besi, semen, dan lain-lain. Semuanya tadi dalam laporan pertanggungjawaban (LPJ) yang dicantumkan selalu harga-harga standart tertinggi / termahal di kalangan mereka dikenal dengan mark up anggaran.

Pertanyaan :

a. Berdosakah membikin laporan pertanggungjawaban seperti itu dengan asumsi tidak melanggar aturan, karena ada standart harga yang sudah di cantumkan?

b. Tindakan (mark up anggaran) tersebut tergolong apa dalam hukum Islam? Dan apa hukumannya?

Jawaban :

a. Mark Up APBD adalah suatu perbutan dosa karena termasuk kidzib / dusta.

Maraji :

قواعد الأحكام جزء 2 ص 252 ما نصه :

ولا يتخيرون في التصرف حسب تخيرهم في حقوق انفسهم مثل ان يبيعوا درهما بدرهم او مكيلة زبيب بمثلها لقول الله تعالى (ولا تقربوا مال اليتيم الا بالتي هي احسن) وان كان هذا في حقوق اليتامى فأولى ان يثبت في حقوق عامة المسلمين فيما يتصرف فيه الأئمة من الأموال العامة لان اعتناء الشرع بالمصالح العامة أوفر وأكثر من اعتنائه بالمصالح الخاصة وكل تصرف جر فسادا او دفع صلاحا فهو منهي عنه.

إسعاد الرفيق جزء 2/76 ما نصه :

ومنها (الكذب وهو) عند اهل السنة (الاخبار) بالشيئ (بخلاف الواقع) اي على خلاف ما هو عليه سواء علم ذلك وتعمده ام لا، واما العلم والتعمد فانما هما شرطان للإثم.

إرشاد العباد ص 71 ما نصه :

(تنبيه) الكذب عند اهل السنة هو الاخبار بالشيئ على خلاف ما هو عليه سواء أعلم ذلك وتعمده ام لا، واما العلم والتعمد فانما هما شرطان للإثم.

b. Termasuk ghulul (penggelapan) dan selanjutnya mereka wajib mengembalikan serta dikenai hukuman ta’zir menurut kebijakan Imam (yang berwenang).

Maraji :

إسعاد الرفيق جزء 2 ص 98 ما نصه :

(و) منها (الغلول) من الغنيمة وهو من الكبائر قال وهو اختصاص احد الغزاة سواء الأمير وغيره بشيئ من مال الغنيمة قبل القسمة من غير ان يحضره الى الأمير ليخمسه وان قل المأخوذ الى ان قال ومثل ذلك الغلول من الاموال المشتركة بين المسلمين ومن بيت مال المسلمين ومن الزكاة ولا فرق في الغالي منها بين كونه مستحقا او لا لأن الظفر فيها ممنوع إذ لا بد فيها من النية.

بجيرمي على المنهج جزء 2 ص 442 ما نصه :

ومنه يؤخذ امتناع ما يقع كثيرا من اختيار شخص حاذق لشراء متاع فيشتريه بأقل من قيمته لحذقته او معرفته ويأخذ لنفسه تمام القيمة معللا ذلك بانه هو الذي وفره لحذقه الى ان قال فيجب رد ما بقي لمالكه لما ذكر من امكان مراجعته.

تنوير القلوب ص 392 ما نصه :

التعزير هو التأديب بنحو حبس وضرب غير مبرح كصفع ونفي وكشف رأس وتسويد وجه ونداء بذنبه وتجريد غيرالعورة من الثياب وتوبيخ بكلام. الى ان قال ولا يكون الا باجتهاد الامام فيجتهد الامام فيه جنسا وقدرا وجمعا وافرادا.

الاشباه والنظائر للسيوطي ص 273 ما نصه :

باب التعزير. قاعدة من اتى معصية لا حد فيها ولا كفارة عزر او فيها احدهما فلا

Diambil dari: solusinahdliyin.net

Hukum Menabuh Rebana/Hadhrah/Terbangan

Musik adalah suatu hal yang sudah menjadi konsumsi kita sehari-hari, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kebutuhan primer. Muncul beragam pertanyaan-pertanyaan dalam fikiran kita tentang status hukum Musik dalam Islam. Semisal:

“Bagaimanakah hukumnya dengerin musik? Sebenernya Musik Islami itu yang bagaimana sih, apakah yang tidak memakai instrumen-instrumen musik seperti gitar dll.? Kalau menurut Islam bagaimana, bolehkan kita menyanyi atau mendengarkan musik?”

Berikut adalah jawaban KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dari pertanyaan-pertanyaan di atas:

“Masalah nyanyian atau musik dan mendengarkannya merupakan masalah yang sejak lama diperdebatkan. Ada yang mutlak mengharamkannya, ada yang mutlak memperbolehkannya, ada yang merinci dari segi kondisi yang menyertainya; haram dalam kondisi tertentu dan boleh dengan syarat-syarat tertentu.

Imam Ghazali dalam kitab “al-Ihyaa’”nya secara panjang lebar membahas masalah ini dengan mengetengahkan argumen-argumen pihak yang mengharamkan dan pihak yang memperbolehkan.

Ahli hadits, Imam al-Hafidz Abul Fadhal Muhammad bin Thahir al-Muqaddasi bahkan menyusun kitab khusus dimana secara terperinci beliau mengupas persoalan sekitar nyanyian, musik dan alat-alat musik; memainkannya maupun mendengarkannya. Al-Muqaddasi dalam pembahasannya itu, menyampaikan argumentasinya dan seklaigus mematahkan argumen-argumen pihak yang mengharamkan terutama dari sudut ilmu hadits.

Pihak yang mengharamkan nyanyian dan mendengarkannya, umumnya mendasarkan hujjahnya pada ayat-ayat yang mengecam:

1. Al-Laghwu: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. al-Mukminun ayat 3).

2. Al-Lahwu: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS Luqman ayat 6).

3. Az-Zuur: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu (oang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. al-Furqan ayat 72).

“Al-Laghwu”, “al-Lahwu” dan “az-Zuur” oleh sementara mufassir ditafsirkan “al-Ghina” atau nyanyian/musik. Termasuk lafal-lafal lain seperti dalam QS. al-Isra’ ayat 64 yang ditafsirkan demikian. Juga mendasarkan pada beberapa hadits Nabi, ucapan-ucapan sahabat dan fatwa-fatwa ulama yang mencela al-Ghinaa. Menurut pihak ini, nyanyian dapat membuat orang lupa kewajiban kepada Allah.

Sedangkan pihak yang menghalalkan atau memperbolehkan nyanyian dan mendengarkannya berpedoman pada patokan bahwa segala sesuatu itu halal sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Yang berhak menghalalkan dan mengharamkan sesuatu itu adalah Allah melalui Rasulullah Saw.

Menurut pihak ini, dalam al-Quran tidak ada larangan menyanyi atau mendengarkan nyanyian. Tafsir perorangan, kecuali dari Rasulullah Saw. adalah tafsir yang tidak dapat dijadikan dasar. Sedangkan hadits-hadits yang dikemukakan pihak yang mengharamkan pun, seperti dikatakan al-Muqaddasi, tidak memenuhi syarat untuk menjadi dasar hukum, seperti terdapat cacat dalam sanadnya.

Pihak ini juga mengetengahkan hadits-hadits untuk mendukung pendapatnya, seperti hadits Sayyidatina ‘Aisyah Ra. yang mengisahkan adanya dua gadis yang sedang menyanyi. Lalu sahabat Abu Bakar Ra. datang dan menegur: “Seruling setan di rumah Rasulullah Saw.?” Dan Rasulullah Saw. sendiri bersabda: “Ya Aba Bakrin, setiap kamu punya hari besar dan ini adalah hari besar kita.” Hadits ini dan semacamnya dianggap menunjukkan bahwa menyanyi dan mendengarkan nyanyian tidak dilarang.

Dalam kaitan ini, Imam Ghazali dalam kitabnya “al-Ihyaa’” mengatakan: “Ketahuilah bahwa ucapan pihak yang menyatakan, mendengar (nyanyian) hukumnya haram, artinya Allah akan menghukum orang yang mendengarkan (nyanyian). Dan ini merupakan hal yang tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal, tapi harus dengan sama’ (mendengar petunjuk Rasulullah Saw). Mengetahui ketentuan-ketentuan agama hanya dapat melalui nash atau qiyas (analog) terhadap hal-hal yang ada nashnya. Yang saya maksud dengan nash adalah apa yang ditunjukkan Rasulullah Saw. dengan ucapannya atau tindakannya. Sedangkan yang saya maksud dengan qiyas adalah makna yang dapat dipahami dari kata-kata dan perbuatannya. Apabila tidak ada nash dan qiyas pun tidak dapat diterapkan terhadapnya, maka pernyataan yang mengharamkannya adalah batal. Dan hal itu tetap merupakan perbuatan yang tidak apa-apa sebagaimana hal-hal lain yang diperkenankan. Seperti saya kemukakan ketika menjawab dalil pihak-pihak yang cenderung mengharamkan, tidak ada dalil nash atau qiyas yang menunjukkan dilarangnya mendengarkan (nyanyian). Sebenarnya dengan mematahkan argumen-argumen pihak yang mearang sudah cukup memadai, namun kami ingin menambahkan dengan mengatakan bahwa baik nash maupun qiyas keduanya telah menunjukkan diperbolehkannya.”

Untuk tidak bertele-tele, biar saya ringkaskan begini: “Umumnya yang mengharamkan nyanyian dan mendengarkan nyanyian itu melihat masalah dengan mengkaitkan faktor-fakotr di luar nyanyian dan mendengarkan nyanyian itu sendiri, seperti yang menyanyi biduanita dengan pakaian dan sikap yang dilarang agama, mendengarkan nyanyian sambil minum minuman keras, mendengarkannya di lingkungan maksiat, mendengarkannya hingga lupa ibadah dan dzikir dan seterusnya. Sedangkan mereka yang menghalalkan semata-mata melihat masalahnya saja.

Jadi bisa disimpulkan bahwa menyanyi atau mendengarkan nyanyian yang tidak terdapat di dalamnya faktor-faktor lain yang diharamkan agama seperti contoh yang sudah disinggung di atas, hukumnya boleh. Wallaahu A'lam.

Sejarah Shalat

oleh Muhammad Idris Mesut

Jika Anda bertanya kepada setiap pemeluk Islam tentang shalatnya; bagaimana shalat diwajibkan? Maka jawaban pada umumnya adalah “aku tidak tahu (la adri). Sungguh Allah telah mewajibkan shalat kepada kita dan cukup itu saja jawabannya”

[Dr. Jawwad ‘Ali]

Shalat secara etimologis berarti do’a, rahmat, dan istighfar. Islam telah mempersempit makna shalat sebagai kewajiban ibadah yang di dalamnya terdapat ruku’, sujud, gerakan-gerakan tertentu, dan kaidah-kaidah baku yang tak bisa dirubah semaunya. Ketentuan waktu pelaksanaan shalat juga sudah baku dan tidak bisa dirubah sesuka hati jika shalat tersebut adalah shalat wajib. Pelaksana shalat (mushali) diperintahkan membaca ayat dan hadits sebagaimana yang telah dibakukan oleh syariat dan kemudian dijaga oleh ulama periode belakangan (khalaf) dari sumber ulama pendahulu (salaf).

Nomenklatur “shalat” berasal dari bahasa Aramaic yang derivasinya dari suku kata shad lam alif “shala” yang artinya adalah ruku’ atau merunduk (inhina`). Kata shalat difungsikan untuk merepresentasikan praktek ritual keagamaan. Kata “shalat” kemudian digunakan oleh kalangan Yahudi, sehingga, sejak saat itu, ia menjadi bahasa Aramaic-Ibrani (aramiyah-‘ibriyah). Kata “shalat” masuk dalam bahasa Arab melalui jalur Ahli Kitab sebelum datangnya Islam. Umat Yahudi menggunakan kata “shalutah” pada masa-masa akhir periode Taurat hingga ia menjadi kata pasaran yang memiliki makna bernuansa religi.

Di dalam kamus, “shalat-shalat Yahudi (washalawat Yahudi): sinagog-sinagog Yahudi”. Sementara dalam al-Quran, Allah berfirman,

ولولا دفع الله الناس بعضهم ببعض لهدمت صوامع وبيع وصلوات ومساجد

Artinya, “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid”. Ibn Abbas berkata, “’shalawat’ artinya adalah tempat ibadah Yahudi yang berasal dari bahasa Ibrani shaluta”.

Sebagian kalangan orientalis (mustasyriq) menilai kata “shalat” (shad lam ta’) dan “zakat” (za’ kaf ta’) tidak ditulis dengan bentuk seperti yang dikodifikasikan pada saat ini. Mula-mula, pada periode awal Islam, dua kata tersebut ditulis dengan dengan huruf wawu; shalât (shad lam wawu ta’) dan zakât (za’ kaf wawu ta’). Mereka berpendapat bahwa kata shalat berasal dari bahasa Aramaic “slouto” (shalutah/shaluta) dan zakat ditulis zakawât (zaka/daka) yang bermakna “menyucikan” (tadhhir).

Sebagian kalangan orientalis lainnya berasumsi bahwa kata shalat tidak dikenal sebelum Islam datang. Kata shalat masuk ke dalam bahasa Arab dari sumber al-Quran sebagai petanda bagi kewajiban-kewajiban yang dikenal oleh umat Islam. Ini adalah pendapat yang membutuhkan argumentasi, karena tidak ada satu pun orang yang mungkin mengklaim bahwa “Kita mengetahui secara mendalam bahasa, istilah-istilah, dan keyakinan Jahiliyah”. Namun andaikan saja kita mampu menguasainya, maka kita berhak menyatakan pendapat yang senada dengan asumsi orientalis tersebut. Tapi pengandaian itu tampaknya mustahil terjadi.

Semoga saja masa yang akan datang membukakan kepada kita data-data teks Jahiliyyah yang dikodifikasikan oleh tangan-tangan mereka yang mengulas persoalan-persoalan seperti ini.

Namun, jika kalangan orientalis bermaksud bahwa shalat—dalam konteks maknanya yang Islami yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui tradisi Judeo-Kristiani—sebagai kata yang tidak dikenali oleh komunitas pagan Jahiliyah, maka pendapat seperti itu benar dan tidak ada yang bisa membantah. Shalat, sebagai ritual Islam, adalah ibadah yang perintahnya turun dalam ruang lingkup Islam.

Shalat bukanlah ibadah Jahiliyah. Dengan demikian, shalat ala Islam tidak dikenal oleh komunitas Jahiliyah.

Lebih jauh lagi, shalat-shalat kaum Yahudi dan Nashrani tidaklah dikenal oleh kalangan penyembah berhala Jahiliyah, karena mereka tidak menganut agama Yahudi dan Nashrani. Namun, bagi sebagian kalangan Jahiliyah yang pernah berinteraksi dengan orang Yahudi atau Nashrani, mereka mengetahui perihal ritual shalat mereka. Hal ini berdasarkan keterangan dalam syair Jahiliyah yang mengisyaratkan adanya informasi tentang ibadahnya kaum Yahudi dan Nashrani yang mencakup gerakan ruku’, sujud, dan membaca tasbih.

Pemeluk Yahudi dan Nashrani dari Arab mengerjakan shalat di tempat-tempat ibadah mereka. Mereka tahu perihal ibadah shalat dengan tata caranya yang khas. Sementara komunitas pagan tidak tahu tentang ritual shalat, sebab tidak ada data yang terkodifikasi yang menjelaskan hal itu. Tetapi, hal ini tidak lantas dapat dijadikan dalil untuk menafikan kemungkinan adanya bentuk-bentuk ritual dalam tradisi Jahiliyah.

Sebagai kaum yang melaksanakan haji pada musim-musim tertentu, memiliki syiar-syiar keagamaan yang baku, dan memiliki tata cara mendekatkan diri pada berhala-berhala, kaum pagan tak mungkin mengabaikan perkara ibadah, karena sesungguhnya ritual adalah sebuah aktivitas penyembahan yang dikenal meskipun oleh komunitas primitif sekalipun.

Dengan demikian, shalat adalah hal yang bersifat integral dengan semua doktrin agama. Tetapi saya tidak berpikir bahwa praktek ibadah mereka mempunyai bentuk yang sama, karena konsep shalat relatif berbeda-beda menurut masing-masing agama dan suku. Tata caranya pun sangat variatif. Namun, meskipun berbeda-beda, ritual-ritual tersebut tak lain adalah shalat, sebab—bagaimana pun juga—konsep tentang shalat adalah satu, namun mengambil bentuk yang beragam. Andaikan saja shalat tidak mengambil bentuk yang beragam, maka semua agama niscaya tunggal.

Di dalam al-Quran al-Karim terdapat indikasi yang menunjukkan adanya praktek shalat bagi kalangan pagan Makkah. Di dalam al-Quran disebutkan, “Doa-doa mereka di sekitar Baitullah itu, tak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan” (QS. al-Anfal: 35). Para penafsir telah menjelaskan bahwa kaum Quraisy melakukan Thawaf dalam keadaan telanjang, bersiul, dan bertepuk tangan. Frasa “shalatuhum” dalam ayat di atas artinya adalah “doa-doa mereka”; mereka bersiul dan tepuk tangan sebagai doa dan bacaan tasbih.

Menurut pendapat minoritas penafsir, ayat tersebut artinya adalah “Tidak ada shalat dan ibadah bagi mereka, kecuali hanya sekedar sebuah permainan”. Versi lain mengatakan, “Shalat kaum Jahiliyah—yang diyakini oleh mereka dapat menolak pengaruh-pengaruh buruk—tak lain hanyalah shalat dengan cara bersiual dan bertepuk tangan. Shalat itu tidak disukai Allah, tidak diwajibkan, dan diperintahkan oleh Allah kepada mereka”.

Di dalam Tafsir al-Thabari disebutkan, “Apakah Allah tidak akan menyiksa kaum Jahiliyah? sementara mereka menolak melaksanakan shalat di Masjid al-Haram. Mereka bukanlah kekasih-kekasih Allah. Para kekasih-Nya adalah orang-orang yang menolak ritual kaum Jahiliyah. Sesungguhnya shalat kaum Jahiliyah di Baitullah tak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan”.

Menurut sebagian perawi, sebab turunnya ayat tersebut adalah kejadian di mana kaum Quraisy melawan Rasulullah saw. saat melaksanakan Thawaf atau shalat di dalam Baitullah. Mereka menertawakan Rasul sembari bersiul-siul dan bertepuk tangan. Kemudian turunlah ayat tersebut untuk mengritik mereka. Sebagian versi lain berpendapat, ketika Rasulullah saw. melaksanakan shalat di Masjid al-Haram, ada dua lelaki dari Bani Abd al-Dar yang berdiri di sebelah kanan Rasul kemudian bertepuk tangan. Dua lelaki lainnya berdiri dan bertepuk tangan di sebelah kiri Rasul. Orang-orang tersebut mengganggu Rasul yang sedang mengerjakan shalat. Maka Allah membunuh mereka semua di medan Perang Badar

Jumat, 15 Maret 2013

Ulama Indonesia yang Mengajar di Masjidil Haram


Sebuah kebanggaan bagi muslimin Indonesia karena pernah memiliki ulama seperti Tuan Guru Abdurrahman Siddiq Al-Banjari.

Jika ulama pada umumnya belajar ke Arab Saudi, maka beliau justru ulama nusantara yang pernah mengajar di Masjidil Haram Makkah. Saat kembali ke Nusantara pun, beliau menjadi soko guru yang mengenalkan tasawuf secara benar di tanah Melayu.
Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad 'Afif bin Mahmud bin Jamaluddin Al-Banjari, demikian nama lengkapnya. Dilahirkan pada tahun 1857 di Kampung Dalam Pagar Martapura Kalimantan Selatan, nama lahir beliau sebenarnya hanyalah Abdurrahman.
Nama "Siddiq" beliau dapat dari seorang gurunya saat ia belajar di Makkah. Beliau merupakan cicit dari ulama ternama etnis Banjar, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Saat baru berusia tiga bulan, ibunda Abdurrahman Siddiq meninggal dunia. Ia tak sempat mendapat asuahan sang ibunda. Ia pun kemudian dirawat kakek dan neneknya. Sang kakek merupakan seorang ulama bernama Mufti H Muhammad Arsyad. Namun baru diusia setahun, sang kakek meninggal. Maka Abdurrahman Siddiq pun tumbuh dewasa hanya bersama neneknya, Ummu Salamah.
Sang nenek merupakan muslimah yang taat beribadah dan faqih beragama. Ia mendidik syaikh dengan kecintaan pada Alquran. Beranjak dewasa, nenek mengirim syekh pada guru-guru agama di kampung halamannya. Ketika dewasa, Syaikh makin giat menuntut ilmu agama.
Beliau melakukan perjalanan menuntut ilmu ke Padang, Sumatra Barat. Setelah menyelesaikan pendidikan di Padang pada 1882, ia masih haus ilmu. Maka pergilah syekh ke kota kelahirn Islam, Makkah pada tahun 1887.
Di tanah suci, Abdurrahman Siddiq banyak menghadiri majelis ilmu para ulama ternama Saudi. Tak hanya di Makkah, beliau pun giat bergabung di halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi di Madinah. Kegiatan tersebut ia lakukan hingga tujuh tahun lamanya. Bahkan Syekh juga sempat menjadi pengajar di Masjidil Haram selama dua tahun sebelum kemudian kembali ke tanah air.
Sepulang dari Saudi, mantaplah ilmu syekh untuk berdakwah di negeri sendiri. Ia kemudian mengabdikan diri untuk berdakwah di Martapura, kemudian pindah ke Indragiri. Ia pun kemudian banyak didatangi para penuntut ilmu, tak hanya dari tanah air, namun juga dari negari tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Beliau bahkan mendirikan sebuah masjid dan madrasah di Indragiri Martapura. Madrasah yang ia buka pun kemudian menjadi tempat para penuntutu ilmu mengambil faedah dari syaikh dengan cuma-cuma. Tak ada iuran sepeser pun yang diminta dari murid-murid madrasahnya. Syekh bergantung pada hasil kebunnya untuk membiayai operasional madrasah.
Syekh Abdurrahman Siddiq, yang juga dipanggil "Tuan Guru" tersebut dikenal sebagai ulama yang amat giat dan aktif. Tak hanya sebagai sufi yang tawadhu, namun juga sastrawan yang membumikan ilmu tasawuf di tanah Melayu. Banyak syair yang telah dihasilkan Syaikh sementara dakwah terus berjalan.
Beliau meluruskan paham tasawuf dan ilmu kalam yang seringkali dipahami secara menyimpang. Pasalnya, banyak guru tasawuf yang hanya mengacu pada hal batin semata. Maka beliau pun hadir meluruskan ilmu tasawuf yang bena
Melihat kefaqihannya, banyak pemerintah setempat yang berkeinginan menjadikan beliau sebagai pemberi fatwa atau mufti. Ia pernah ditawari jabatan mufti dari sultan Kerajaan Johor, namun ia menolaknya. Saat berkunjung ke Betawi, Syekh juga diminta menjadi mufti namun lagi-lagi beliau menolaknya.
Baru setelah tawaran datang dari Kerajaan Indragiri Riau, beliau menerimanya. Itupun setelah pihak kerajaan terus menerus memohon kesediaannya. Maka diterimalah jabatan tersebut, namun dengan syarat tanpa mendapat bayaran darinya. Beliau menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri sejak tahun 1919 hingga 1939 yang berkantor di kawasan Rengat.
Selama hidupnya, Syekh banyak menghasilkan karya bermutu. Sedikitnya tercatat 20 buah karya kitab yang ia hasilkan. Tak hanya buku agama, namun ia pun menulis banyak karya sastra. Syekh memang dikenal sebagai ulama, mufti, sekaligus sebagai sastrawan dan pujangga.
Salah satu kitab beliau yang populer yakni Risalah 'Amal Ma'rifah. Diselesaikan pada tahun 1332, kitab tersebut disusun beliau karena minimnya rujukan tasawuf yang mumpuni bagi para alim ulama di masa itu. Maka kitab tasawuf itu pun lahir menjadi rujukan para penuntut ilmu, diajarkan para ulama dan guru agama di banyak majelis dan sekolah. Pada saat itu, kitab beliaulah yang relevan dalam ilmu tasawuf.
Adapun sebagai pujangga, karya sastra beliau yang terkenal terdapat dalam "Syair Ibarat Kabar Kiamat". Buku yang berisi kumpulan syair tersebut diterbitkan oleh Ahmadiyyah Press Singapura pada tahun 1915.
Dalam menulis sastra, Syekh memang beraliran religi. Karya-karya lain beliu yang populer pun terhitung banyak, diantaranya "Fath Al-Alim fi Tartib Al-Ta'lim" tentang adab menuntut ilmu, "Majmu' al Ayah wa al Hadist fi fada-il al ilmi wa al 'ulama wa al Muta'allimin wa al Mustami'in" yang terbit di Singapura, "Bai`Al-Hayawah li Al-Kafirin" berisi fikih perdagangan, dan karya lain yang sangat populer saat itu.
Namun sayangnya, sekian banyak karya syekh saat ini sulit didapat. Pasalnya, banyak karya beliau yang terbakar saat terjadi agresi militer Belanda di nusantara.
Begitu banyak kiprah yang ia lakukan dalam dakwah di nusantara, khususnya di Kalimantan dan Melayu. Seluruh usianya beliau habiskan untuk menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu. Setelah banyak hal yang ia lakukan untuk umat, sang Tuan Guru mendapati ajalnya. Beliau meninggal di Sapat, Indragiri Hilir, pada 10 Maret 1930 di usia 72 tahun.
Meski jasadnya telah terpendam bumi, namanya masih selalu dikenang. Masjid yang ia dirikn saat ini masih tegak berdiri. Pemikirannya dan ajaran tasawufnya masih menjadi perhatian untuk dipelajari. Beliau dimakamkan di dekat masjid yang ia dirikan untuk madrasah gratis para penuntut ilmu. Hingga kini, makam beliau selalu ramai dikunjungi muslimin tak hanya etnis Banjar ataupun etnis Melayu saja, namun muslimin nusantara.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza Hanifa

Dasar Hukum Puji-Pujian di Masjid/Musholla

Biasanya di masjid/mushola NU sblm sholat berjamaah ada lantunan "puji-pujian". Berikut dasar hukumnya smg bermanfaat:

Dzikir dan Syair sebelum Shalat Berjama’ah

Membaca dzikir dan syair sebelum pelaksanaan shalat berjama'ah, adalah perbuatan yang baik dan dianjurkan. Anjuran ini bisa ditinjau dari beberapa sisi.

Pertama, dari sisi dalil, membaca syair di dalam masjid bukan merupakan sesuatu yang dilarang oleh agama. Pada masa Rasulullah SAW, para sahabat juga membaca syair di masjid. Dalam sebuah hadits:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانِ بْنِ ثاَبِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِيْ الْمَسْجِدِ فَلَحَظَ إلَيْهِ فَقَالَ قَدْ أنْشَدْتُ وَفِيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ ثُمَّ الْتَفَتَ إلَى أبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ أسَمِعْتَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ أجِبْ عَنِّيْ اَللّهُمَّ أيَّدْهُ بِرُوْحِ اْلقُدُسِ قَالَ اَللّهُمَّ نَعَمْ
t;

Dari Sa'id bin Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu.’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa'i [709] dan Ahmad [20928]).

Meogomentari hadits ini, Syaikh Isma’il az-Zain menjelaskan adanya kebolehan melantunkan syair yang berisi puji-pujian, nasihat, pelajaran tata krama dan ilmu yang bermanfaat di dalam masjid. (Irsyadul Mu'minin ila Fadha'ili Dzikri Rabbil 'Alamin, hlm. 16).

Kedua, dari sisi syiar dan penanaman akidah umat. Selain menambah syiar agama, amaliah ini merupakan strategi yang sangat jitu untuk menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat. Karena di dalamnya terkandung beberapa pujian kepada Allah SWT, dzikir dan nasihat.

Ketiga, dari aspek psikologis, lantunan syair yang indah itu dapat menambah semangat dan mengkondisikan suasana. Dalam hal ini, tradisi yang telah berjalan di masyarakat tersebut dapat menjadi semacam warming up (persiapan) sebelum masuk ke tujuan inti, yakni shalat lima waktu.

Manfaat lain adalah, untuk mengobati rasa jemu sembari menunggu waktu shalat jama'ah dilaksanakan. Juga agar para jama'ah tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu ketika menunggu shalat jama'ah dilaksanakan.

Dengan beberapa alasan inilah maka membaca dzikir, nasehat, puji-pujian secara bersama-sama sebelum melaksanakan shalat jama'ah di masjid atau di mushalla adalah amaliah yang baik dan dianjurkan. Namun dengan satu catatan, tidak mengganggu orang yang sedang melaksanakan shalat. Tentu hal tersebut disesuaikan deogan situasi dan kondisi masing-masing masjid dan mushalla masing-masing.

KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember

Mau dzikir pelan-pelan atau pakai pengeras suara monggo

Berdzikir dengan Pengeras Suara

Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.

Jumat, 01 Maret 2013

Tahlil, Doa Dan Dzikir

Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Tahlil, Doa Dan Dzikir Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada
yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah
yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : "DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YANG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG-ORANG YANG BERIMAN YANG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Mengenai hadits
yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur'an untuk mendoakan orang yang telah wafat : "WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YANG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN", (QS Al Hasyr-10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam
yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

Munculkan satu dalil
yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil
yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya
yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda: Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).

Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).

Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits
yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”. Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

Walillahittaufiq

Selasa, 26 Februari 2013

Kenapa KH. Wahid Hasyim Memilih NU?

Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng. Kendati demikian, NU tidak semerta-merta membuat KH. Wahid Hasyim yang notabenenya adalah putra dari KH. M. Hasyim Asy'ari otomatis memilih NU. KH. Wahid Hasyim mempunyai penilaian sendiri terhadap organisasi yang didirikan oleh ayahnya tersebut. KH. Wahid Hasyim menjelaskan, paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan dia bergabung dengan NU:
1. Keberhasilan NU mengembangkan organisasi dalam waktu singkat dan meliputi daerah yang luas.
2. Anggotanya punya mentalitas tinggi, meski tidak punya kaum terpelajar yang banyak.
3. NU memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam.
4. Adanya ulama yang terus menjaga ajaran Islam. Faktor Kiai, yang dulunya dianggap sebagai penghambat keberhasilan NU, justru menjadi kunci keberhasilannya.

Dari hal tersebut di atas, dapat diteladani bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua tidak secara mentah-mentah didukung oleh anak. Perlu adanya penilaian objektif berdasarkan nalar dan logika apakah sesuatu yang dilakukan oleh orang tua layak didukung oleh anak.

KH. Wahid Hasyim memilih NU bukan karena faktor pendirinya yang merupakan ayahnya sendiri, melainkan karena faktor menilaian yang dilakukannya sendiri sehingga beliau mengambil keputusan memilih NU secara objektif berdasarkan apa yang beliau amati dan dianggap baik (dan memang baik).

Gus Dur Inspirator Pergerakan

Ketua Umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah inspirator pergerakan. Ia juga milik semua ummat, golongan, tanpa sekat apapun.

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Barat Edy Rusyandi pada sambutan gelaran Haul Gus Dur ke-3 di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Kota Bandung, pada Ahad, (27/01).

Edy menambhkan, kegiatan ini merupakankerjasama antara PMII Jabar dengan komunitas lintas agama yang terepresentasikan dalam wadah Jakatrub. Tujuannya untuk terus mengaktualkan dan menghidupkan ajaran dan pemikiran Gus Dur di tengah-tengah masayarakat.

“Juga sebagai bagian dari upaya meluruskan opini yang berkembang dari sesat sejarah proses lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan.”

Haul bertema Belajar Kearifan dari Guru Bangsa dihadiri narasumber, antara lain Alisa Wahid (Putri Gusdur), Acep Zamzam Noor (budayawan), Aat suratin Budayawan/Rumah Nusantara Bandung), Wawan Gunawan (Koordinator Jakatarub),Deddy Jamaludin Malik (Ketua STIKOM Bandung), dan Adhy Massardi (mantan Jubir Presiden Abdurahman Wahid).

Deddy Djamaludin Malik mengatakan bahwa di tengah mewabahnya fenomena kerawanan sosial bangsa kita hari ini akan terus merindukan Gus Dur. “Karena Gusdur merupakan tokoh yang secara konsisten memperjuangkan apa yang menjadi perinsip hidupnya tanpa lelah,” ujarnya.

Sementara itu Allisa Wahid, menyampaikan beberapa hal yang mewarnai karakter utama Gus Dur. Pertama, kesederhanaan. Kedua, ketulusan. Ketiga, bersikap ksatria, dan keempat bertumpu pada kearifan.

Kegiatan tersebut merupakan salah satu mata rantai kegiatan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspimda) PKC PMII Jabar yang digelar sebelumnya di kawasan pendidikan Jatinangor Sumedang dari mulai tanggal 25-26 Januari 2013.

Sejumlah pencinta Gus Dur yang mencapai lebih dari tigaratusan orang yang terdiri dari kader PMII se-Jabar, komunitas lintas agama, serta Gusdurian dari beberapa daerah di Jabar.

Acara tersebut dibuka dengan melantunkan doa bersama dan Nadzoman Barjanji serta syair Tanpo Waton versi bahasa Sunda dipimpin KH Ma’mur Saadie, Pengasuh Pondok Pesantren Albidayah Kabupaten Bandung Barat.

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (w. 1996)

Foto: AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (w. 1996)

Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi. 

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2) 

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya. 

Latar BelakangPendidikan 

Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah? 

Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996). 

Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar. 

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi). 

Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. 

Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru. 

Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu. 

Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya. 

Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI 

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu. 

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso. 

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang. 

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle. 

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang. 

Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah. 

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya. 

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha. 

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad. 

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis. 

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya. 

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi. 

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya. 

Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI. 

Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar. 

Hijrah Ke Parepare 

Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said. 

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman. 

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar. 

Diculik Kahar Muzakkar 

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar. 

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya. 

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta. 

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu. 

Kiprahnya dalam Perjuangan 

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat. 

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana). 

Hijrah Ke Kaballangan Pinrang 

Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan. 

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan. 

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal. 

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani. 

Kitab-kitab Karya Gurutta 

Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt. 

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah. 

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu) 

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun. 

Kepribadian Gurutta 

Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta. 

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta. 

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam. 

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya. 

Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami 

Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya. 

Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu. 

Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos. 

Detik-detik Terakhir 

Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong. 

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.

Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:

1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999
2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.
3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986. 

Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain. 

Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.
Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu. 

Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik. 

Dikutip dari: http://darisrajih.wordpress.com (Judul asli: Panrita Menembus Semua Zaman).Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2)

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya.

Latar BelakangPendidikan

Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah?

Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996).

Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).

Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.

Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru.

Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu.

Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya.

Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu.

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.

Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya.

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya.

Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI.

Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar.

Hijrah Ke Parepare

Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar.

Diculik Kahar Muzakkar

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar.

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.

Kiprahnya dalam Perjuangan

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana).

Hijrah Ke Kaballangan Pinrang

Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan.

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal.

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.

Kitab-kitab Karya Gurutta

Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt.

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.

Kepribadian Gurutta

Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam.

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.

Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami

Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya.

Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu.

Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos.

Detik-detik Terakhir

Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong.

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.

Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:

1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999
2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.
3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986.

Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain.

Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.
Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu.

Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik.