Selasa, 26 Februari 2013

Kenapa KH. Wahid Hasyim Memilih NU?

Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang didirikan oleh KH. M. Hasyim Asy'ari, pendiri pondok pesantren Tebuireng. Kendati demikian, NU tidak semerta-merta membuat KH. Wahid Hasyim yang notabenenya adalah putra dari KH. M. Hasyim Asy'ari otomatis memilih NU. KH. Wahid Hasyim mempunyai penilaian sendiri terhadap organisasi yang didirikan oleh ayahnya tersebut. KH. Wahid Hasyim menjelaskan, paling tidak ada empat faktor yang menyebabkan dia bergabung dengan NU:
1. Keberhasilan NU mengembangkan organisasi dalam waktu singkat dan meliputi daerah yang luas.
2. Anggotanya punya mentalitas tinggi, meski tidak punya kaum terpelajar yang banyak.
3. NU memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam.
4. Adanya ulama yang terus menjaga ajaran Islam. Faktor Kiai, yang dulunya dianggap sebagai penghambat keberhasilan NU, justru menjadi kunci keberhasilannya.

Dari hal tersebut di atas, dapat diteladani bahwa apa yang dilakukan oleh orang tua tidak secara mentah-mentah didukung oleh anak. Perlu adanya penilaian objektif berdasarkan nalar dan logika apakah sesuatu yang dilakukan oleh orang tua layak didukung oleh anak.

KH. Wahid Hasyim memilih NU bukan karena faktor pendirinya yang merupakan ayahnya sendiri, melainkan karena faktor menilaian yang dilakukannya sendiri sehingga beliau mengambil keputusan memilih NU secara objektif berdasarkan apa yang beliau amati dan dianggap baik (dan memang baik).

Gus Dur Inspirator Pergerakan

Ketua Umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah inspirator pergerakan. Ia juga milik semua ummat, golongan, tanpa sekat apapun.

Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PKC PMII) Jawa Barat Edy Rusyandi pada sambutan gelaran Haul Gus Dur ke-3 di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Kota Bandung, pada Ahad, (27/01).

Edy menambhkan, kegiatan ini merupakankerjasama antara PMII Jabar dengan komunitas lintas agama yang terepresentasikan dalam wadah Jakatrub. Tujuannya untuk terus mengaktualkan dan menghidupkan ajaran dan pemikiran Gus Dur di tengah-tengah masayarakat.

“Juga sebagai bagian dari upaya meluruskan opini yang berkembang dari sesat sejarah proses lengsernya Gus Dur dari kursi kepresidenan.”

Haul bertema Belajar Kearifan dari Guru Bangsa dihadiri narasumber, antara lain Alisa Wahid (Putri Gusdur), Acep Zamzam Noor (budayawan), Aat suratin Budayawan/Rumah Nusantara Bandung), Wawan Gunawan (Koordinator Jakatarub),Deddy Jamaludin Malik (Ketua STIKOM Bandung), dan Adhy Massardi (mantan Jubir Presiden Abdurahman Wahid).

Deddy Djamaludin Malik mengatakan bahwa di tengah mewabahnya fenomena kerawanan sosial bangsa kita hari ini akan terus merindukan Gus Dur. “Karena Gusdur merupakan tokoh yang secara konsisten memperjuangkan apa yang menjadi perinsip hidupnya tanpa lelah,” ujarnya.

Sementara itu Allisa Wahid, menyampaikan beberapa hal yang mewarnai karakter utama Gus Dur. Pertama, kesederhanaan. Kedua, ketulusan. Ketiga, bersikap ksatria, dan keempat bertumpu pada kearifan.

Kegiatan tersebut merupakan salah satu mata rantai kegiatan Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspimda) PKC PMII Jabar yang digelar sebelumnya di kawasan pendidikan Jatinangor Sumedang dari mulai tanggal 25-26 Januari 2013.

Sejumlah pencinta Gus Dur yang mencapai lebih dari tigaratusan orang yang terdiri dari kader PMII se-Jabar, komunitas lintas agama, serta Gusdurian dari beberapa daerah di Jabar.

Acara tersebut dibuka dengan melantunkan doa bersama dan Nadzoman Barjanji serta syair Tanpo Waton versi bahasa Sunda dipimpin KH Ma’mur Saadie, Pengasuh Pondok Pesantren Albidayah Kabupaten Bandung Barat.

AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (w. 1996)

Foto: AGH. ABDURRAHMAN AMBO DALLE (w. 1996)

Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi. 

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2) 

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya. 

Latar BelakangPendidikan 

Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah? 

Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996). 

Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar. 

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi). 

Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut. 

Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru. 

Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu. 

Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya. 

Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI 

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu. 

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso. 

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang. 

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle. 

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang. 

Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah. 

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya. 

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha. 

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad. 

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis. 

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya. 

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi. 

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya. 

Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI. 

Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar. 

Hijrah Ke Parepare 

Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said. 

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman. 

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar. 

Diculik Kahar Muzakkar 

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar. 

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya. 

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta. 

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu. 

Kiprahnya dalam Perjuangan 

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat. 

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana). 

Hijrah Ke Kaballangan Pinrang 

Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan. 

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan. 

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal. 

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani. 

Kitab-kitab Karya Gurutta 

Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt. 

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah. 

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu) 

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun. 

Kepribadian Gurutta 

Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta. 

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta. 

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam. 

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya. 

Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami 

Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya. 

Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu. 

Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos. 

Detik-detik Terakhir 

Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong. 

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.

Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:

1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999
2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.
3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986. 

Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain. 

Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.
Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu. 

Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik. 

Dikutip dari: http://darisrajih.wordpress.com (Judul asli: Panrita Menembus Semua Zaman).Gurutta Ambo Dalle dilahirkan dari keluarga bangsawan yang masih kental, sekitar tahun 1900 M, di Desa UjungE Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, sekitar 7 km sebelah utara Sengkang? Ayahnya bernama Andi Ngati Daeng Patobo dan ibunya bernama Andi Candara Dewi.

Kedua orang tua beliau memberi nama Ambo Dale? Ambo berati bapak dan Dalle berarti rezeki. Diharapkan anak itu kelak hidup dengan limpahan rezeki yang cukup. Adapun nama Abd. Rahman diberikan oleh seorang ulama bernama K.H. Muhammad Ishak, pada saat usia beliau 7 tahun dan sudah dapat menghapal Al Qur’an. (Majalah Amanah No. 61 hal. 2)

Sebagai anak tunggal dari pasangan bangsawan Wajo itu, Gurutta tidak dibiarkan menjadi bocah yang manja. Sejak dini beliau telah ditempa dengan jiwa kemandirian dan kedisiplinan, khususnya dalam masalah agama. Awalnya, Ambo Dalle belia diserahkan pada seorang bibinya untuk belajar mengaji selama 15 hari dan setelah itu ibunya mengambil alih untuk menggemblengnya setiap hari. Kasih sayang ibu yang sangat dalam kepada anaknya tidak lain karena kekhawatiran yang amat sangat kalau sang putra semata wayang ini mendapat pengaruh yang buruk dari anak sebayanya.

Latar BelakangPendidikan

Gurutta memulai debut pendidikannya di Volk School (Sekolah Rakyat) sedangkan sore hari dan malamnya beliau pergunakan untuk belajar mengaji, sehingga waktunya tidak terlalu banyak untuk bermain di luar rumah?

Selanjutnya, beliau meneruskan pengajiannya dengan belajar tajwid, nahwu sharaf dan menghapal Alquran pada seorang ulama bernama KH? Muhammad Ishak. Walaupun waktunya banyak untuk belajar, namun sisa-sisa waktu yang ada beliau pergunakan untuk bermain bola yang menjadi kegemaranya. Gurutta adalah pemain handal yang bisa menggiring bola dengan berlari kencang sehingga digelari “Si Rusa” (Majalah Gatra, Edisi Februari 1996).

Gurutta tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu Alquran seperti tajwid, qiraat tujuh, nahwu sharaf, tafsir, dan fikhi, tetapi beliau pun mengikuti kursus bahasa Belanda di HIS? Pernah pula belajar di Sekolah Guru yang diselenggarakan Syarikat Islam (SI) di Makassar.

Peluang untuk menuntut ilmu semakin terbuka tatkala telah banyak ulama asal Wajo yang kembali dari Mekkah setelah belajar di sana? Diantaranya Sayid Ali Al Ahdal, Haji Syamsuddin, Haji Ambo Omme, yang bermaksud membuka pengajian di negeri sendiri, seperti tafsir, fikhi, dan nahwu sharaf. Sementara itu, pemerintah Kerajaan Wajo (Arung Matoa) bersama Arung Ennengnge (Arung Lili), sangat senang menerima tamu ulama. Karena itu, lingkungan kerajaan tempat beliau dibesarkan sering kedatangan ulama dari Mekkah. Diantara ulama itu adalah Syekh Muhammad Al-Jawad, Sayid Abdullah Dahlan dan Sayid Hasan Al-Yamani (Kakek Dr. Zaki Yamani, mantan menteri perminyakan Arab Saudi).

Pada masa itu mempelajari agama dilakukan dengan cara sorogan (sistem duduk bersila); guru membacakan kitab, murid mendengar dan menyimak pembicaraan guru? Keberhasilan belajar tergantung pada kecerdasan murid dalam menangkap pembicaraan sang guru. Pada tahun 1928, ketika H. Muhammad As’ad bin Abdul Rasyid Al-Bugisy, seorang ulama Bugis Wajo yang lahir dan menetap di Mekkah pulang kembali ke negeri leluhurnya, Gurutta tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu sehingga beliau berangkat ke Sengkang untuk menimba ilmu dari guru besar tersebut.

Agaknya, nasib baik mengguratkan garisnya pada diri Gurutta? Dengan kelengkapan bekal (fisik dan mental) yang matang, diantaranya Alquran yang telah dihafalnya sejak umur 7 tahun, ditambah pengetahuan lainnya sehingga menjadi modal dasar untuk mengikuti pelajaran yang diselenggarakan oleh Anregurutta H. Muhammad As’ad di Sengkang yang bersifat komprehensif. Sistem ini lebih menitikberatkan pemahaman daripada hafalan sehingga sangat membekas bagi Gurutta dan membuatnya lebih tuntas dalam meraup seluruh ilmu yang diberikan sang guru.

Suatu ketika, Anregurutta Puang Aji Sade (begitu masyarakat Bugis menyapanya) menguji secara lisan murid-muridnya, termasuk Gurutta? Ternyata jawaban beliau dianggap yang paling tepat dan sahih. Maka, sejak itu beliau diangkat menjadi asisten. Tahun 1935, beliau berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa bulan di sana untuk memperdalam ilmu agama, pada seorang Syekh di Mekkah. Ketika suatu saat Gurutta Ambo Dalle menanyakan tentang hal-hal yang gaib, sang Guru memberikan kitab Khazinatul Asraril Qubra. “Baca saja kitab itu, semua yang ingin kamu tanyakan dan pelajari ada di situ,” kata Syekh yang memberikan kitab itu. Dari sana Gurutta mengenal rahasia kehidupan Waliyullah di zaman dahulu.

Gurutta pun mengamalkan ilmu yang diperoleh dari kitab itu, dan sejak itu pula beliau dijuluki oleh para santri dengan panggilan Gurutta yang artinya guru kita. Kelak Gurutta banyak mengalami kejadian gaib yang tidak dialami oleh orang awam, misalnya berawal dari mimpi membaca kitab dan langsung menghafalnya saat terbangun dari tidurnya.

Gurutta : dari MAI Sengkang, MAI Mangkoso, hingga DDI

Sejak Gurutta diangkat menjadi asisten AG?H. Muhammad As’ad, beliau mulai meniti karier mengajar dan secara intens menekuni dunia pendidikan ini. Pada saat yang sama, Arung Matowa Wajo beserta Arung Lili sepakat menyarankan kepada Anregurutta H. Muhammad As’ad agar pengajian sistem sorogan (duduk bersila) ditingkatkan menjadi madrasah. Saran tersebut diterima dengan terbuka, maka madrasah pun didirikan atas bantuan dan fasilitas pemerintah kerajaan. Dibukalah pendidikan awaliyah (setingkat taman kanak-kanak), ibtidaiyah (SD) dan tsanawiyah (SMP). Perguruan itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah disingkat MAI Sengkang, yang lambangnya diciptakan oleh Gurutta dengan persetujuan AG.H. As’ad dan ulama lainnya. Gurutta bahkan diserahi tugas memimpin lembaga itu.

Popularitas MAI Sengkang dengan sistem pendidikannya yang modern (sistem madrasi) dengan cepat menarik perhatian masyarakat dari berbagai daerah? Salah seorang yang tertarik dengan sistem pendidikan MAI Sengkang adalah H.M.Yusuf Andi Dagong, Kepala Swapraja Soppeng Riaja yang berkedudukan di Mangkoso. Ketika diangkat sebagai Arung Soppeng Riaja pada tahun 1932, beliau lalu mendirikan mesjid di Mangkoso sebagai ibukota kerajaan. Namun, mesjid itu selalu sepi dari aktivitas ibadah akibat rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Untuk mengatasi hal tersebut, atas saran para tokoh masyarakat dan pemuka agama, diputuskan untuk membuka lembaga pendidikan (angngajiang : pesantren) dengan mengirim utusan untuk menemui Anregurutta H.M.As’ad di Sengkang. Utusan itu membawa permohonan kiranya Anregurutta H.M.As’ad mengizinkan muridnya, yaitu Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk memimpin lembaga pendidikan yang akan dibuka di Mangkoso.

Ketika itu, di Sulawesi Selatan sudah ada beberapa tempat yang merupakan pusat pendidikan Islam dan banyak melahirkan ulama? Tempat-tempat tersebut adalah Pulau Salemo di Pangkep, Campalagian di Polmas, dan di Sengkang Wajo. Namun, bila dibandingkan dengan Salemo dan Campalagian yang menerapkan sistem tradisional berupa pengajian halakah (mangaji tudang), MAI Sengkang memiliki kelebihan karena telah menerapkan sistem modern (madrasi/klasikal) di samping tetap mempertahankan pengajian halakah. Dan, itulah agaknya menarik minat pemerintah Swapraja Soppeng Riaja untuk membuka lembaga pendidikan dengan sistem yang sama dengan MAI Sengkang.

Awalnya, permohonan itu ditolak karena Anregurutta H?M.As’ad tidak menghendaki ada cabang madrasahnya. Beliau kuatir keberadaan madrasah yang terpencar menyulitkan kontrol sehingga dapat mempengaruhi kualitas madrasahnya. Namun, setelah melalui negosiasi yang alot, akhirnya keputusan untuk menerima permohonan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja itu diserahkan kepada Gurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle.

Hari Rabu, tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle beserta keluarga dan beberapa santri yang mengikuti dari Wajo hijrah ke Mangkoso dengan satu tujuan, melanjutkan cita-cita dan pengabdian. Hari itu juga Gurutta memulai pengajian dengan sistem halakah karena calon santri memang sudah lama menunggu. Kelak momen ini dianggap bersejarah karena menjadi cikal bakal kelahiran DDI. Sambutan pemerintah dan masyarakat setempat sangat besar, terbukti dengan disediakannya segala fasilitas yang dibutuhkan, seperti rumah untuk Gurutta dan keluarganya serta santri yang datang dari luar Mangkoso. Setelah berlangsung tiga minggu, Gurutta kemudian membuka madrasah dengan tingkatan tahdiriyah, ibtidaiyah, iddadiyah, dan tsanawiyah. Fasilitas pendidikan yang diperlukan serta biaya hidup mereka beserta guru-gurunya ditanggung oleh Raja sebagai penguasa setempat. Di dalam mengelola pesantren dan madrasah, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle dibantu oleh dua belas santri senior yang beberapa diantaranya ikut bersama beliau dari Sengkang. Mereka adalah : Gurutta M. Amberi Said, Gurutta H. Harun Rasyid Sengkang, Gurutta Abd. Rasyid Lapasu, Gurutta Abd. Rasyid Ajakkang, Gurutta Burhanuddin, Gurutta M. Makki Barru, Gurutta H. Hannan Mandalle, Gurutta Muhammad Yattang Sengkang, Gurutta M. Qasim Pancana, Gurutta Ismail Kutai, Gurutta Abd. Kadir Balusu, dan Gurutta Muhammadiyah. Menyusul kemudian Gurutta M. Akib Siangka, Gurutta Abd.Rahman Mattammeng, dan Gurutta M. Amin Nashir. Lembaga itu diberi nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso, namun bukan cabang dari MAI Sengkang.

Anregurutta H?Abd. Rahman Ambo Dalle, berbekal pengalaman mengajar yang ada, diberi amanah untuk memimpin MAI Mangkoso. Berkat dukungan dan simpati dari pemerintah dan masyarakat Mangkoso, pertumbuhan dan perkembangan madrasah ini sangat pesat, terbukti dengan banyak permintaan dari luar daerah untuk membuka cabang. Anregurutta merespon permintaan itu, maka dibukalah cabang MAI Mangkoso di berbagai daerah.

Namun, masalah mulai mengintai ketika Jepang masuk dan menancapkan kuku-kuku imperialis di bumi Sulawesi Selatan? Proses belajar dan mengajar di madrasah ini mulai menghadapi kesulitan karena pemerintah Jepang tidak mengizinkan pengajaran seperti yang dilakukan di madrasah. Untuk mengatasi masalah ini, Guruta Ambo Dalle tidak kehilangan siasat. Beliau mengambil inisiatif agar pelajaran yang sebelumnya dilakukan di dalam kelas, dipindahkan ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca daun pintu dan jendela masjid dicat hitam agar pada malam hari cahaya lampu tidak tembus ke luar. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada seorang guru secara berkelompok dan mengambil tempat di mana saja asal dianggap aman dan bisa menampung semua anggota kelompok. Sewaktu-waktu pada malam hari dilarang menggunakan lampu. Ajaib, dengan cara itu justru mengundang peminat yang kian bertambah dan luput dari pengawasan Jepang. Malah, ada beberapa petinggi Jepang yang telah mengenal Gurutta Ambo Dalle secara dekat dan bahkan ada yang menaruh hormat yang sangat dalam sehingga menganggap Gurutta sebagai guru dan orang tuanya. Demikianlah kharisma Gurutta Ambo Dalle menembus sekat bangsa, suku, golongan dan strata dalam masyarakat sehingga beliau bisa merengkuh hati massa pendukungnya.

Dunia Gurutta adalah lautan ilmu dan pengabdian yang tak habis-habisnya? Masyarakat akan selalu terkesan bagaimana Sang Anregurutta selama bertahun-tahun mengayuh sepeda dari Mangkoso ke Pare-Pare yang berjarak 30 km dan menjadi 70 km pulang pergi. Perjalanan panjang dan melelahkan itu dilakoninya tanpa mengeluh, karena beliau juga menjalankan tugas sebagai Kadhi di Pare-Pare. Bagi orang lain, hal itu mejadi sesuatu yang sangat menguras tenaga. Namun, bagi Gurutta Ambo Dalle, jiwanya telah terbungkus dengan jiwa pengabdian dan kecintaan agama yang kukuh sehingga semua dijalani dengan ikhlas dan ridha.

Mulanya, setelah beberapa tahun memimpin MAI Mangkoso, beliau dihadapkan pada kondisi bangsa Indonesia yang sedang dalam masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan? Dimana-mana gema perjuangan bergelora di seluruh pelosok tanah air. Gurutta Ambo Dalle terpanggil untuk membenahi sistem pendidikan yang menurutnya nyaris terbengkalai. Dia sadar selain bertempur melawan penjajah dengan senjata, berperang melawan kebodohan pun sama pentingnya. Sebab, kebodohanlah salah satu yang menyebabkan Indonesia terbelenggu dirantai kolonialisme selama berabad-abad.

Kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 ternyata tidak serta merta mendatangkan ketentraman dan kedamaian bagi rakyat? Ancaman datang lagi dari Belanda melalui agresi Sekutu/NICA. Rakyat dari berbagai pelosok bangkit mengadakan perlawanan. Terjadilah peristiwa yang dalam sejarah dikenal sebagai Peristiwa Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan. Tentara NICA di bawah komando Kapten Westerling mengadakan pembunuhan dan pembantaian terhadap rakyat yang dituduh sebagai ekstrimis.

Peristiwa tersebut membawa dampak bagi kegiatan MAI Mangkoso? Banyak santri-santri yang ditugaskan oleh Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengajar di cabang-cabang MAI di berbagai daerah, menjadi korban keganasan Westerling. Diantara yang menemui syahid itu tercatat nama M. Saleh Bone dan Sofyan Toli-Toli, dua santri MAI Mangkoso yang ditugaskan mengajar di Baruga Majene, gugur ketika menjalankan tugasnya.

Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H?Abdurrahman Ambo Dalle untuk mengembangkan MAI. Bahkan, dalam situasi seperti itu bersama beberapa ulama lepasan MAI Sengkang, diantaranya AG.H.Daud Ismail dan AG.H.M.Abduh Pabbajah, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle melakukan pertemuan alim ulama/kadhi se Sulawesi Selatan di Watang Soppeng. Pertemuan itu diadakan pada hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H / 5 Februari dan berakhir pada hari Jumat tanggal 16 Rabiul Awal 1366 H / 7 Februari 1947. Pertemuan itu menyepakati membentuk organisasi yang diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI), yang bergerak dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle dipilih sebagai ketua dan AG.H.M.Abduh Pabbajah sebagai sekretaris organisasi itu. Setelah pertemuan tersebut, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berubah nama menjadi DDI. Mangkoso pun ditetapkan sebagai pusat organisasi.

Pasca proklamasi kemerdekaan gairah rakyat untuk mengejar segala ketertinggalan utamanya dalam bidang pendidikan bagai tak terbendung? Hal ini membuat pimpinan pusat DDI sangat kewalahan melayani permintaan untuk mengirimkan guru-guru untuk cabang-cabang DDI yang baru. Maka, suatu kebijaksanaan segera diambil oleh ketua umum melalui suatu keputusan rapat adalah dengan menugaskan siswa-siswa kelas tertinggi untuk mengajar di madrasah-madrasah yang tersebar di mana-mana. Mereka diwajibkan mengabdi selaku pendidik dalam jangka waktu tertentu. Setelah selesai, barulah mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajarannya. Prakarsa ini ternyata bermanfaat ganda. Kesulitan tenaga pengajar dapat ditanggulangi tanpa memerlukan biaya besar. Sedangkan bagi para siswa, kegiatan tersebut berguna sebagai wahana mempraktikkan ilmu yang telah mereka dapatkan di madrasah. Selanjutnya, bila mereka berada di tengah masyarakat, tidak canggung lagi dalam melanjutkan pengabdiannya.

Namun problema baru muncul pula? Mangkoso dirasakan sudah tidak memenuhi syarat untuk menampung kegiatan DDI yang semakin majemuk. Sebagai pusat organisasi, Mangkoso memiliki keterbatasan dalam menunjang kegiatan organisasi yang diperkirakan bakal lebih maju. Dibutuhkan tempat yang lebih representatif dan lebih mudah diakses. Pandangan ditujukan ke kota Parepare. Tapi masalahnya, bagaimana mendapatkan tempat di sana dan untuk membangun sarana yang dapat menampung segala kegiatan DDI.

Karena keikhlasan hati disertai pengharapan yang tak kikis, Allah yang Maha Pengasih mengulurkan pertolongan dalam bentuk lain. Peluang itu datang ketika pemerintah Swapraja Mallusettasi di Parepare menawarkan jabatan Kadhi kepada AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle. Sebetulnya, bagi Gurutta sangat berat menerima jabatan ini karena dia harus bertugas di Parepare sementara rumah dan keluarganya masih di Mangkoso. Namun, demi kemajuan organisasi yang dipimpinnya dan demi pengabdian kepada agama dan negara, akhirnya Gurutta memutuskan mengambil kesempatan ini. Sejak itu, Anregurutta yang memimpin DDI dan Kadhi ini harus bolak balik antara Mangkoso dan Parepare menggunakan sepeda sejauh 70 KM. Namun, hari-hari panjang yang beliau lewati dengan cukup melelahkan ini tidak menjadi alasan dan tidak mengurangi keaktifannya mengajar.

Hijrah Ke Parepare

Tahun 1950, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle yang berusia 50 tahun itu akhirnya pindah ke Parepare meninggalkan Mangkoso yang sarat kenangan yang semakin meneguhkan sosok Gurutta dalam kiprah menegakkan agama Islam lewat media pendidikan. Beliau membangun rumah dan menetap di Ujung Baru bersama keluarganya dan pada tahun itu pula pusat Darud Da’wah Wal Irsyad diboyomg ke Parepare, dengan menempati sebuah gedung yang cukup representatif di sebelah selatan Masjid Raya. Gedung tersebut adalah pemberian Arung Mallusetasi. Tak berapa lama kemudian, dibangun perguruan di Jalan Andi Sinta Ujung Baru Parepare (depan Masjid Al Irsyad, bersebelahan dengan rumah kediaman Gurutta). Setelah itu, Gurutta pindah ke Ujung Lare (Lereng Gunung) yang diperuntukkan bagi santri putra. Sedangkan untuk santri putri, tetap di Ujung Baru. Sementara DDI di Mangkoso tetap berjalan seperti biasa dan dikelola oleh pemimpin yang baru, yakni KH. Muhammad Amberi Said.

Secara geografis kota Parepare amat strategis untuk menjadi pusat kegiatan organisasi dan pendidikan? Terletak di tepi pantai, kota itu memiliki pelabuhan alam yang sarat dilabuhi kapal-kapal berbagai ukuran, baik dari dalam negeri maupun dari manca negara. Kondisi ini menunjang perkembangan DDI dalam kiprah pengabdiannya. Untuk itu, manajemen organisasi DDI disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Muktamar sebagai institusi tertinggi organisasi ditetapkan dua tahun sekali. Badan-badan otonom didirikan, antara lain : Fityanud Da’wah wal Irsyad (FIDI), bergerak di bidang kepanduan dan kepemudaan, Fatayat Darud Da’wah wal Irsyad (FADI), untuk kaum putri dan pemudi, Ummahatud Da’wah wal Irsyad (Ummmahat), bagi para Ibu. Dibentuk pula dewan perguruan yang mengatur pengelolaan madrasah dan sekolah, termasuk pengangkatan guru-guru dan penyusunan kurikulum. Sistem pendidikan disesuaikan dengan kemajuan zaman.

Dalam kesibukannya memimpin organisasi dan perguruan itu, AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle tidak melalaikan kewajibannya sebagai warga negara yang taat. Ia bersama KH. Fakih Usman dari Departemen Agama Pusat dipercayakan oleh pemerintah RI membenahi dan merealisasi pembentukan Departemen Agama Propinsi Sulawesi. Tugas itu dapat dilaksanakan dengan baik berkat ketekunan dan kesabarannya. Sebagai Kepala Depag yang pertama, diangkat KH.Syukri Gazali, sedangkan beliau sendiri diangkat menjadi Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten Parepare pada tahun 1954, menggantikan KH. Zainuddin Daeng Mabunga yang dialihtugaskan ke Makassar.

Diculik Kahar Muzakkar

Perjalanan hidup terus bergulir dengan segala dinamika yang mengiringinya? Hingga pada suatu hari, tepatnya tanggal 18 juli 1955, mobil yang dikemudikan oleh Abdullah Giling, sopir (sebelumnya adalah pembonceng) merangkap sekretaris Gurutta, dicegat sekelompok orang bersenjata lengkap di Desa Belang-Belang Kab. Maros. Awalnya, Abdulllah Giling mengira pasukan tersebut adalah tentara yang sedang latihan perang-perangan. Ketika mobil berhenti, anggota pasukan bersenjata itu membuka topi bajanya dan berhamburanlah rambut panjang melampaui punggung pemiliknya, ciri khas pasukan pemberontak. Yakinlah mereka kalau sedang dihadang oleh gerombolan separatis DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Waktu itu DI/TII memang banyak mengajak kaum ulama untuk dibawa masuk ke hutan dan dijadikan penasehat Kahar Muzakkar. Yang menolak akan diambil secara paksa (diculik) seperti yang terjadi pada Gurutta KH. Abd. Rahman Mattammeng. Pasukan gerombolan tersebut tidak memberikan kesempatan Gurutta Ambo Dalle untuk berbicara dan langsung dinaikkan ke atas usungan. Gurutta lalu dibawa masuk ke hutan yang menjadi basis perjuangan mereka untuk bergabung dengan anak buah Kahar Muzakkar. Niat pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia itu untuk menculik Gurutta Ambo Dalle memang sudah lama. Ketika Gurutta dihadapkan kepada Kahar Muzakkar, tokoh pemberontak ini tampak gembira, “Alhamdulillah, Pak Kiai sudah di tengah-tengah kita, Insya Allah dengan doa Pak Kiai, perjuangan kita akan mencapai kemenangan,” kata Kahar Muzakkar.

Di dalam hutan, dengan pengawalan yang cukup ketat dari para gerilyawan, Gurutta sama sekali tidak punya peluang untuk keluar dari hutan dan kembali ke kota? Maka, terbersitlah pikiran Gurutta agar lebih baik melanjutkan misi pendidikan Islam seperti yang ia cita-citakan sejak kecil. Pengajian dilakukan pada anggota DI/TII dan keluarganya di hutan. Gurutta Ambo Dalle dengan faham Ahlusunnah Wal Jamaah tampaknya mendapat benturan dengan sebagian anggota Kahar Muzakkar yang menganut faham Wahabi dan sebagiannya lagi tidak menghiraukan mazhab. Maka tidak mengherankan jika sering terjadi konflik antara beliau dengan Kahar Muzakkar dan pengikut setianya.

Selama delapan tahun Gurutta berada di hutan di tengah kancah perjuangan idealisme kaum gerilyawan DI/TII, selama itu pula Kahar Muzakkar tidak pernah jauh dari Gurutta? Kemana ia pergi Gurutta selalu diikutkan. Kalau ada pasukan yang terluka kena tembakan dari serangan TNI, Gurutta mengobati hanya dengan air putih yang ia doakan, berangsur-angsur luka itu sembuh dan sang prajurit itu berguru dan menjadi murid Gurutta.

Pada tahun 1963, Operasi Kilat yang dilancarkan oleh pemerintah (TNI) semakin menekan kaum pemberontak itu sehingga kekuatan mereka kian lemah dan terpecah-pecah. Gurutta pun tidak pernah lagi mendapatkan pengawalan seperti sebelumnya. Hal itu digunakan oleh Gurutta untuk mencari kontak dengan TNI dan berusaha keluar dari hutan. Beliau dijemput oleh TNI dipimpin A. Patonangi yang memang sudah lama mencarinya dan langsung dibawa menghadap Panglima Kodam XIV Hasanuddin- waktu itu Kolonel M.Yusuf. Pertemuan itu sangat mengharukan dan suasana hening pun terjadi dalam ruangan, layaknya pertemuan seorang anak dengan orang tuanya yang sudah lama memendam rindu, baru berjumpa setelah berpisah sekian lama. Sungguh banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman selama di hutan, namun yang pasti Gurutta lebih menuai kebijaksanaan dan kearifan dalam menilai semua itu.

Kiprahnya dalam Perjuangan

Keteguhan sikap Anregurutta tak lekang di setiap peristiwa dan pergolakan yang beliau lalui dalam perjalanan hidupnya? Ketika terjadi pemberontakan G-30 S/PKI, Gurutta Ambo Dalle yang ketika itu berdomisili di Parepare, tak bergeming dan tetap kukuh dengan prinsip dan keyakinannya. Pada waktu itu Anregurutta berpesan pada santrinya agar tetap berpegang teguh pada akidah Islam yang benar, jangan terpengaruh dengan gejolak yang terjadi dalam masyarakat.

Secara fisik, Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle tidak pernah secara langsung memanggul senjata melawan penjajah. Namun, kediamannya tak pernah sepi dari para pejuang yang minta didoakan keselamatannya. Misalnya, ketika Lasykar Pemuda Pejuang Sulawesi Selatan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS) di bawah pimpinan Andi Mattalatta hendak melakukan ekspedisi ke Jawa pada tahun 1946, mereka menemui Anregurutta untuk didoakan keselamatannya dalam memperjuangakan bangsa dan negara. Demikian juga saat mereka kembali dari Jawa dan hendak melakukan Konferensi Kelasykaran di Paccekke pada tanggal 20 Januari 1947 atas mandat Jenderal Sudirman. Kebetulan, letak Mangkoso bersebelahan dengan Paccekke, tempat berlangsungnya konferensi yang melahirkan Divisi TRI Sulawesi Selatan/Tenggara sebagai cikal bakal Kodam XIV Hasanuddin (sekarang Kodam VII Wirabuana).

Hijrah Ke Kaballangan Pinrang

Pada tahun 1977, pemilu kedua berlangsung selama zaman orde baru? Pada waktu itu, kondisi politik Indonesia terasa sangat panas. Baranyanya pun bergulir sampai ke kampus DDI Ujung Lare Parepare. Berkaitan dengan peristiwa pemilu ini, Gurutta berada dalam kondisi yang cukup dilematis. Keadaan memaksa beliau untuk memilih. Atas dasar demi menyelamatkan organisasi dari tekanan pemerintah yang cukup refresif, akhirnya AG.H.Abdurrahman Ambo Dalle menyatakan diri bergabung dengan Golongan Karya (Golkar), partai politik yang berkuasa saat itu. Itupun setelah melalui perenungan dan kontemplasi yang matang dan didahului dengan shalat istikharah, untuk memohon petunjuk Illahi Rabbi agar dapat menentukan dan memilih jalan yang terbaik. Gurutta KH. Ambo Dalle memilih ikut bersama dengan pemerintah membangun bangsa dan negara daripada harus berseberangan jalan.

Meskipun pilihan politik itu bersifat pribadi, tidak membawa DDI sebagai lembaga, tapi tampaknya sikap ini tidak menghembuskan angin segar dalam internal warga DDI? Diantara tokoh DDI dan murid-muridnya banyak yang tidak setuju dengan sikap yang diambil Gurutta. Sikap itu dianggap sudah keluar dari garis perjuangan DDI. Hal itu berdampak pada keterpecahan sikap dari para santri tempat beliau memimpin. Peristiwa ini memberi dampak serius terhadap mekanisme pendidikan di Pesantren DDI Ujung Lare dan Ujung Baru Parepare yang dipimpin langsung oleh Gurutta. Kedua kampus itu nyaris kosong ditinggalkan oleh santri-santri yang tidak bisa menerima sikap politik Gurutta. Akhirnya para santriwati yang tadinya tinggal di Ujung Baru ditarik ke Ujung Lare untuk bergabung dengan santri putra yang masih bertahan.

Peristiwa tersebut membuat Gurutta sangat kecewa sehingga hampir saja membuatnya hijrah ke Kalimantan Timur? Ketika itu, pemerintah daerah dan masyarakat di sana menunggunya. Issu ini sempat tercium oleh Bupati Pinrang (Andi Patonangi). Beliau lalu menawarkan kepada Gurutta sebuah kawasan di daerahnya untuk dijadikan pesantren. Tahun 1978, akhirnya Gurutta hijrah lagi ke Pinrang, tepatnya di desa Kaballangan. Itulah awal berdirinya Pesantren Kaballangan Kabupaten Pinrang yang dipimpin langsung oleh beliau. Sedangkan pesantren di Parepare diserahkan kepada KH. Abubakar Zaenal.

Namun, satu hal yang perlu dicatat bahwa kedekatan Gurutta dengan Golkar dan pemerintah orde baru, selain telah menorehkan pengalaman pahit bagi DDI, harus diakui pula telah mendatangkan kebaikan bagi DDI. Tidak ada lembaga pendidikan dan organisasi Islam, khususnya di Sulawesi Selatan, yang demikian diperhatikan oleh pemerintah melebihi perhatian terhadap DDI. Pembangunan Pondok Pesantren DDI Kaballangan, misalnya, tidak lepas dari perhatian dan bantuan pemerintah. Pesantren putra yang dipimpin langsung oleh Gurutta itu tidak pernah sepi dari kunjungan pejabat, sipil dan militer, baik dari provinsi maupun pusat. Tentu saja, kunjungan itu membawa sumbangan untuk pesantren. Meskipun begitu, hubungan baiknya dengan pemerintah tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Juga kedekatan itu tidak mengorbankan kharismanya sebagai ulama anutan yang disegani.

Kitab-kitab Karya Gurutta

Sebagai ulama, AG?H. Abdurrahman Ambo Dalle banyak mengurai masalah-masalah kesufian di dalam karya-karya tulisnya. Tapi, tidak sebatas saja, melainkan hampir semua cabang-cabang ilmu agama beliau kupas dengan tuntas, seperti akidah, syariah, akhlak, balaghah, mantik, dan lain-lain. Kesemua itu tercermin lewat karangan-karangannya yang berjumlah 25 judul buku. Kitab Al-Qaulus Shadiq fi Ma’rifatil Khalaqi, yang memaparkan tentang perkataan yang benar dalam mengenali Allah dan tatacara pengabdian terhadap-Nya. Menurut Gurutta, manusia hanya dapat mengenal hakikat pengadian kepada Allah jika mereka mengenal hakikat tentang dirinya. Untuk mengagungkan Allah, tidak hanya berbekalkan akal logika saja, tapi dengan melakukan zikir yang benar sebagai perantara guna mencapai makripat kepada Allah. Meskipun harus diakui bahwa logika harus dipergunakan untuk memikirkan alam semesta sebagai ciptaan Allah swt.

Dikemukakan bahwa cara berzikir mesti benar, sesuai yang diajarkan Rasulullah berdasarkan dalil-dalil naqli? Hati harus istiqamah dan tidak boleh goyah. Pendirian dan sikap aqidah tercermin dalam kitab Ar-Risalah Al-Bahiyyah fil Aqail Islamiyah yang terdiri dari tiga jilid. Keteguhan pendiriannya tentang sesuatu yang telah diyakini kebenarannya, tergambar dalam kitabnya Maziyyah Ahlusunnah wal Jama’ah.

Yang membahas bahasa Arab dan ushul-ushulnya tertulis dalam kitab Tanwirut Thalib, Tanwirut Thullab, Irsyadut Thullab? Tentang ilmu balagha (sastra dan paramasastra) bukunya berjudul Ahsanul Uslubi wa-Siyaqah, Namuzajul Insya’I, menerangkan kosa kata, dan cara penyusunan kalimat Bahasa Arab. Kitab Sullamul Lughah, menerangkan kosa kata, percakapan dan bacaan. Yang paling menonjol adalah kitab Irsyadul Salih. yang menerangkan penjelasan rinci (syarah atas bait-bait kaidah ilmu Nahwu)

AG.H. Abd. Rahman Ambo Dalle juga mengarang pedoman berdiskusi dalam Bahasa Arab, yakni kitab Miftahul Muzakarah dan tentang ilmu mantiq (logika) dalam kitab Miftahul Fuhum fil Mi’yarif Ulum. Aktivitas tulis menulis yang dilakukan oleh Gurutta kiranya tidak terlalu berat, karena panggilan untuk mengukirkan gagasan dalam kanvas sudah beliau lakoni sejak berumur 20 tahun.

Kepribadian Gurutta

Sebagai ulama yang menyimpan kharisma yang dalam, Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle dikenal dekat dengan semua kalangan, baik santrinya maupun dengan masyarakat dan pemerintah. Pengabdiannya yang total dan kepemimpinannya yang adil, lekat di jiwa pencintanya. Akan sulit menemukan figur ulama seperti beliau dalam sepak terjang perjuangannya di dalam menegakkan syiar agama dan meletakkan dasar pondasi yang kokoh untuk menegakkan berdirinya pendidikan pesantren, yang kini memiliki jaringan cabang yang sangat luas hingga keluar negeri. Kedekatannya dengan semua golongan terkadang membuat beliau mempunyai “banyak anak” sebagai anak angkat yang tidak dibedakan dengan anak kandungnya sendiri. Seperti pengakuannya dalam sebuah media, “Bagi saya, semua orang seperti anak sendiri, semua harus diperlakukan secara adil tidak peduli apa anak kandung atau bukan”. Contohnya, Try Sutrisno (mantan Wapres) ketika menjabat sebagai Panglima ABRI datang menyerahkan diri sebagai anak. Gurutta pun menerimanya dan menyerahkan sehelai tasbih sebagai bukti dan mengajarkan beberapa doa sekaligus mendoakan. Sejak itu, bila Try Sutrisno ke Sulawesi Selatan, selalu meluangkan waktunya untuk bertemu dengan Gurutta.

Demikian pula beberapa santri yang pernah belajar di Pesantren DDI, khususnya di Mangkoso, Parepare, dan Kaballangan, diperlakukan sama, baik santri laki-laki maupun perempuan? Beliau selalu menaruh rasa cinta dan sayang kepada siapapun yang dianggap memiliki kemampuan belajar tanpa memandang latar belakang keluarga. Sebagai contoh, beliau pernah memberikan sebuah kitab Kifayah al-Akhyar yang ada ditangannya sebagai hadiah kepada santrinya, karena bisa menjawab pertanyaan yang diajukan Gurutta.

Dalam kegiatan kemasyarakatan, Gurutta sangat intens dalam memberikan perhatian dan meluangkan waktunya untuk membahas dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang ditemui ataupun yang diajukan kepadanya? Namun, dengan segudang kesibukan yang mendera waktunya, Gurutta tak pernah melupakan tugas sehari-hari untuk mengajar di pesantren dan juga kegiatan dakwah yang diembannya hingga sampai ke pelosok-pelosok daerah. Apalagi jika memasuki hari-hari besar Islam seperti pada peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. atau peringatan Isra’ Mi’raj Nabi, beliau jarang dijumpai di rumah karena kesibukan berdakwah untuk kepentingan syiar Islam.

Dengan Pemerintah, Gurutta senantiasa menjalin kerja sama yang sangat akrab? Beliau mempunyai pandangan bahwa ulama dan umara keduanya merupakan dwi tunggal yang mutlak diperlukan dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, di balik semua kharisma dan keseriusan beliau itu, sesungguhnya Gurutta juga adalah seorang yang menyimpan jiwa seni yang cukup kuat. Orang-orang terdekatnya paham betul akan kemampuan Gurutta dalam melukis, dekorasi, dan menciptakan lagu-lagu yang bernafaskan Islam. Gurutta Ambo Dalle pernah melukis potret dirinya yang nyaris sama dengan yang asli. Sedangkan untuk lagu-lagu ciptaannya, sampai sekarang masih tersimpan sebagian di tangan santrinya.

Peristiwa Gaib yang Pernah Dialami

Dalam perjalanan hidupnya, Anregurutta H?Abd.Rahman Ambo Dalle sering mengalami peristiwa gaib yang sulit dicerna logika manusia. Beberapa yang sempat tercatat, diantaranya beliau mengalami peristiwa turunnya Lailatul Qadr di Masjid Jami Mangkoso. Selain itu, dalam mengarang kitab, sering berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya. Mimpinya yang lain, Gurutta mendaki sebuah bukit. Di puncak bukit, Gurutta melihat beberapa wajan di atas tungku yang masih menyala. Anehnya, isi wajan tersebut bukanlah makanan, melainkan bubur yang terbuat dari ramuan kitab. Setiap wajan memiliki nama kitab dari cabang ilmu tertentu. Ketika isi salah satu wajan tersebut dilahapnya, serentak isi wajan yang lain ikut ludes pula. Saat terbangun, semua isi kitab itu dihafalnya.

Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari atau pun keperluan pesantren, ada saja “bantuan langsung” yang diperolehnya dengan cara yang gaib? Di saat memerlukan sejumlah dana, misalnya, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan saat itu.

Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang yang menjaga pos memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos.

Detik-detik Terakhir

Gurutta KH? Abd. Rahman Ambo Dalle berpulang dalan usia senja mendekati satu abad. Namun, tahun-tahun menjelang beliau dipanggil Tuhan, tetap dilalui dengan segala kesibukan dan perjalanan-perjalanan yang cukup menyita waktu dan tanpa hirau akan kondisi beliau yang mulai uzur. Misalnya, dalam usia sekitar 80 tahun beliau masih aktif sebagai anggota MPR dan MUI pusat. Dalam rentanya dan kaki yang sudah tidak mampu menopang tubuhnya, beliau masih sempat berkunjung ke Mekkah untuk melakukan Umrah dan memenuhi undangan Raja Serawak (Malaysia Timur), meskipun mesti digendong.

Demikianlah perjalanan hidup seorang hamba Allah SWT yang telah melalui berbagai zaman dalam perjuangannya menegakkan dan mensyiarkan agama Islam. Di setiap era yang dilewatinya, dia tetap tampil sebagai sosok yang selalu tegar dan tegas. Ibarat pohon bakau ditepi pantai, ia tak pernah luruh dan tetap kukuh menghalau deburan ombak yang menghantamnya. Dia tak mau takluk pada perhitungan manusia akan kondisi dan kemampuan fisiknya di usia senja. Dimana keadaan sebagian tubuhnya sudah tidak berfungsi lagi, mata yang kabur dan nyaris tak melihat, tubuh ringkih yang tidak kuat berjalan. Semuanya tidak membuatnya untuk berhenti dari misi pengabdiannya.

Pada masa menjelang akhir hidupnya, Anre Gurutta H. Abd. Rahman Ambo Dalle banyak menerima penghargaan dari pemerintah dan lembaga pendidikan diantaranya:

1.Tanda kehormatan Bintang MAHAPUTRA NARARYA Dari Presiden B.J. Habibie, tahun 1999
2. Tanda Penghargaan Dari Pemerintah Daerah Tk. II Wajo sebagai PUTRA DAERAH BERPRESTASI (Bupati dan DPRD) tahun 1998.
3. Penghargaan dari Universitas Muslim Indonesia sebagai TOKOH PENDIDIK BIDANG AGAMA SE INDONESIA TIMUR (Rektor UMI) tahun 1986.

Anre Gurutta (AG) H? Abd. Rahman Ambo Dalle dipanggil Yang Maha Kuasa pada tanggal 29 November 1996 setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit. Para dokter yang memeriksa dan merawat beliau mengatakan bahwa ulama besar ini dalam keadaan yang “sehat-sehat saja”. Dan tidak menemukan penyakit yang serius. Penemuan para ahli medis ini sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta H. Ambo Dalle mengidap “penyakit tua”. Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang, seperti banyak pengalaman-pengalaman gaib yang banyak ditemuinya semasa hidup. Seperti pada penuturannya pada Majalah “Gatra” tanggal 24 Februari 1996, beliau banyak mengalami mimpi ajaib yang menginspirasinya untuk membuat buku. Buku yang dikarang beliau dari ilham mimpi antara lain kitab Ilmu Balagha, Ilmu Mantiq, Ilmu Arudhy, dan puluhan buku karangannya yang lain.

Kini semua karya itu tinggal menjadi monumen yang berharga bagi generasi sesudahnya yang akan menjadi amal jariah jika karya-karya tersebut dapat terus digali dan diamalkan. Karena sang guru, AG. H. Abd. Rahman Ambo Dalle telah tiada. Beliau tidak pernah menuntut apa-apa dari masa pengabdiannya yang begitu panjang dan menyita hampir seluruh hidupnya. Ia ikhlas, karena ia yakin, jerih payahnya tidak akan sia-sia. Kini rumput-rumput telah disiangi, benih pun telah ditaburkan. Sebagai orang Bugis, Gurutta telah mengamalkan prinsip yang dipegang teguh nenek moyangnya sejak berabad-abad lampau, “Pura ba’bara’ Sompe’ku, pura tangkisi’ gulikku, ulebbirengngi telleng natoalie”. Layar telah kukembangkan, kemudi sudah kupasang. Kupilih tenggelam daripada surut kembali. Gurutta tidak tenggelam, ia pun tidak surut. Tapi ia telah sampai mengantarnya umatnya lepas dari kebodohan dan keterbelakangan. Perjuangannya memang belum selesai.
Sangat tidak pantas apabila dalam kedamaiannya yang abadi, generasi sekarang tidak meneruskan perjuangan beliau? Biarkanlah di alam sana, beliau menyaksikan dengan tenang dan damai. Tugas kita untuk terus memupuk dan mengembangkan karya dan warisan yang telah dirintisnya. Mengembalikan semuanya dalam bentuk yang menjadi impian dan cita-cita Gurutta di awal perintisannya dulu.

Selamat jalan Gurutta, selamat jalan guru kami. Hanya doa yang selalu kami kirim untuk senantiasa menemanimu dalam tidur panjang menemui Sang Khalik.

NU dari Ulama untuk Ummat dan Negara

Pada bulan Januari 2013 ini usia NahdlatulUlama sudah sekitar 87 Tahun, karena NU lahir pada tanggal 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H. NU lahir dari proses hasil istikharah ulama besar (KH Khalil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari) dengan isyarah tongkat dan tasbih. KHR As’ad Syamsul Arifin yang saat itu masih remaja dan menjadi santri Kiai Kholil disuruh mengantar tongkat dengan membaca surat Thoha: 17-23, dan tasbih dengan membaca ya jabbar ya qahhar. Dengan isyarah dan istkharah dari para ulama maka NU didirikan.

Dan yang menjadi penggerak utama berdirinya NU adalah munculnya ajaran-ajaran dalam Islam yang menyimpang darifaham ahlussunnah wal jama’ah, kondisi sosial dan politik yang sangat membutuhkan peran para ulama sehingga dalam AD/ART NU dicantumkan bahwa tujuan NU adalah berlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlussunnah wal-jamaah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.

Dengan tujuan yang mulia itu Nahdlatul Ulama didirikan dalam bentuk organisasi yang terdiri dari Mustasyar (kiai-kiai sepuhberpengaruh), Syuriyah (kiai atau pakar yang memilki keahlian) dan Tanfidziyah (sebagai pelaksana program).

Alhamdulillah berkat adanya NU para ulama dapat berperan dalam proses kemerdekaan Negara RI, dan ikut serta mengisi, membangun dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sedangkan dari sisi keummatan NU melalui program-program PB, PW, PC, MWC, Ranting dan Kelompok Anak Ranting (KAR) yang berbasis masjid, terus mengembangkan misinya dalam menanamkan ajaran Aswaja di tengah-tengah masyarakat.

Gerakan keummatan ini yang sangat berpengaruh adalah melalui jalur pesantren, guru ngaji, dan pendidikan diniyah yang didirikan oleh warga NU.

Sampai ada jargon bahwa NU itu pesantren besar dan Pesantren adalah NU kecil. Para kiai NU yang membawa missi ajaran dari gurunya terus dikembangkan di tengah-tengah masyarakat. Para kiai NUmembentuk jam’iyyah Yasin dan Tahlil, Manaqib, jama’ah muslimatan, kelompok shalawat dan istighatsah. Bahkan para kiai NU memiliki peran kemasyarakatan; seperti acara Ngupati, Mitoni (bagi Ibu yang hamil), Kelahiran (memberi nama anak, Aqiqah, sunnatan), pernikahan, kematian (dari memandikan, mengkafani, menguburkan, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan Haul) serta acara hari-hari besar Islam, semua acara itu memerlukan peran kiai NU.

Disela-sela acara tersebut para kiai NU membawa misi ajaran Aswaja yang akhirnya berkembang menjadi tradisi masyarakat yang mengakar.

Seiring dengan perkembangan zaman, NU dalam muktamarnya terus membuat keputusan-keputusan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

Dibuatlah program-program yang tidak hanya menitikberatkan pada sisi ritualitas keagamaan tapi ke arah pendidikan dan sosial.
Lalu Nahdlatul Ulama, baik melalui Lembaga, dan perangkat badan otonomnya (Muslimat, Fatayat, GP. Ansor, IPNU-IPPNU, dll) mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat TPQ, PAUD sampai pada perguruan tinggi, membangun rumah sakit, koperasi, membuat media cetak maupun elektonik (ada koran Duta masyarakat, Harian Bangsa, Majalah, Buletin, TV 9 dan NU Online ), membentuk Aswaja centre, membentuk Himpunan pengusaha NU (HPN) untuk menggerakkan dan memajukan ekonomi ummat serta aksi-aksi sosial dalam memberi pelayanan pada ummat.

Dalam gerakan aksi sosial, NU memiliki lembaga GNKL yang bergerak dalam penyelamatan hutan dan CBDRM yang bergerak untuk penanggulangan bencana.

Pada tahun 2012-2013 NU menyelenggarakan pasar rakyat dan pelatihan kewirausahaan di berbagai kotakabupaten dengan tujuan memberi bantuan berupa pasar murah dan menumbuhkan gairah usaha bagi warga NU. Dengan program-program tersebut NU sangat dekat pada ummat.

Disisi lain, NU mengembangkan sayapnya tidak hanya di wilayah Indonesia. PBNU membentuk PCI (Pengurus Cabang istimewa) di luar negeri. Bahkan PBNU diberi tempat untuk menyampaikan pidato di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada saat dunia ditimpa oleh gerakan terorisme dengan istilah “jihad” yang secara tekstual mengambil dari referensi Islam maka NU diminta oleh dunia internasional untuk menjelaskan ajaran Islam Rahmatan lil’alamin melalui forum-forum dialog di berbagai negara.

Sang Pendekar Pagar Nusa

Foto: Sang Pendekar Pagar Nusa

Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding.

Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.

Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.

Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.

Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.

Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).

Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.
Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.

Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa. 

(A Khoirul Anam)
Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding.

Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.

Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.

Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.

Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.

Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).

Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.
Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.

Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.

(A Khoirul Anam)

NU Miliki Badan Halal

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membentuk badan halal sendiri. Badan Halal Nahdlatul Ulama (BHNU) didirikan untuk menjawab permintaan masyarakat Nahdliyin.

BHNU memiliki fungsi menerbitkan fatwa halal untuk produk makanan, obat-obatan maupun kosmetik. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siraj mengungkap, BHNU tidak untuk menyaingi keberadaan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pasalnya, keberadaan BHNU ini untuk produsen dan konsumen NU. Terutama untuk usaha kecil atau mikro."Bukan ingin menyaingi MUI, tapi mengabulkan permintaan pengusaha kecil dan konsumen warga NU," kata Said Aqil saat peresmian BHNU di Kantor PBNU Jakarta, Rabu (6/2).

Said menambahkan, ide pendirian BHNU setelah ada pameran usaha Himpunan Pengusaha NU di Surabaya. Awalnya, pendirian ini juga dikuatirkan akan menyaÍngi MUI. Namun, Ketua MUI yang juga tokoh NU, Kiai Sahal Mahfudz justru menyetujui pendirian BHNU. Hadirnya BHNU akan membuat sertifikasi halal tidak lagi didominasi MUI.

Ketua BHNU Maksum Machfoedz mengungkapkan, NU akan bertindak untuk mengeluarkan fatwa halal dan haram. Sedangkan untuk pengujian produk, BHNU akan sudah bekerjasama dengan PT Succofindo. BHNU ditujukan untuk memudahkan penerbitan sertifikasi halal pada produsen mikro.

Artinya, biaya yang akan dikeluarkan untuk penerbitan sertifikasi halal akan sangat murah. Namun, BHNU juga akan terbuka pada pihak manapun untuk penerbitan sertífikat halal.

Menurut Maksum, meskipun menyasar usaha mikro, pengawasan tetap akan dilakukan dengan ketat. Seluruh warga NU dapat melakukan pengawasan terkait produk yang sudah disertifikasi.
NU merasa perlu untuk menerbitkan sertifikasi halal karena untuk melakukan proteksi pada usaha mikro. Sebab, sebagian besar usaha mikro adalah masyarakat NU. Selama ini, pemerintah belum melakukan proteksi terhadap produk usaha mikro. Akibatnya, ketika dilanda isu produk haram, langsung berdampak pada pemilik usaha mikro.

"Sampai sekarang proteksi syariah tidak pernah difasilitasi pemerintah, maka harus ada proteksi itu sekaligus proteksi ekonomi," kata Maksum.