Selasa, 26 Februari 2013

Aku (Tetap) Sebagai Nahdliyin, Mengapa?

Foto: Aku (Tetap) Sebagai Nahdliyin, Mengapa?

Perjalanan NU telah berumur 87 tahun. Masa yang cukup panjang, yang secara otomatis telah merasakan pahit-manis berorganisasi, baik di internal organisasi maupun perannya dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjalanan NU sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan telah meneguhkan dirinya selama 87 tahun. Sebuah perjalanan panjang, yang secara otomatis telah merasakan manisnya, sekalipun juga pahitnya tidak sedikit menerpa organisasi yang lebih dikenal –mengutip peneliti luar-- sebagai komunitas Islam tradisional, baik di internal organisasi maupun perannya dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tepatnya tanggal 31 Januari dinobatkan sebagai kelahiran NU. Pasalnya, pada tanggal yang sama tahun 1926 para pendiri NU yang bergabung dalam komite Hijaz merancang sekaligus melakukan protes terhadap penguasa Arab Saudi berideologi Wahabi untuk tetap menghormati ajaran Islam lain, terutama ajaran yang dianut oleh Islam Sunni.

Pada momentum kali ini, berbagai peringatan tahunan dilakukan baik di pusat maupun cabang-cabang dengan ragam ekspresi.

Tidak ada tujuan lain kecuali rasa syukur hingga NU sampai hari ini tetap ada. Lagi-lagi berkat ketulusan para pendiri NU dengan konsistennya menjaga keberlangsungan nilai-nilai Islam Ahl al-Sunna wa al-Jama’ah (Aswaja) di bumi nusantara dan belahan dunia pada umumnya.

Namun, dalam benak penulis terbesit pertanyaan, mengapa aku sampai hari ini tetap bertahan sebagai warga NU (Nahdliyin)? 

Pertanyaan ini sangat mungkin dialami oleh anak-anak muda NU (struktural/kultural) di tengah-tengah kehidupan beragama yang semakin kompleks, belum lagi arus global yang diakui atau tidak turut mempengarui cara pandang warga NU dalam melihat kenyataan hidup.

Kontestasi ideologis dengan komunitas Islam lain (radikal) nampaknya menjadi ancaman bagi NU. Tidak sedikit, mahasiswa yang lahir dari kultur NU akhirnya ikut-ikutan forum kecil yang jelas-jelas berafiliasi dengan Islam radikal. Belum lagi, upaya mereka merebut paksa aset-aset NU, seperti masjid dan mushallah, tanpa memperhatikan bahkan menghargai kearifan nilai-nilai lokal masyarakatnya.

Menggugat peribadatan NU makin nyaring di mana-mana, padahal harus diakui tidak jarang pelakunya adalah anak warga atau bahkan pengurus NU. Nampaknya, pragmatisme sesaat, baik finansial atau dalam bentuk beasiswa ke luar negeri, menjadi penyebab utama –bukan satu-satunya-- kader-kader NU hengkang ikut komunitas Islam radikal dan memutus mata rantai paham Aswaja melaui gugatannya kepada ritual-ritual NU, seperti pembid’ah-an pada tradisi Maulid Nabi dan lain-lain.
Perjalanan NU telah berumur 87 tahun. Masa yang cukup panjang, yang secara otomatis telah merasakan pahit-manis berorganisasi, baik di internal organisasi maupun perannya dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Perjalanan NU sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan telah meneguhkan dirinya selama 87 tahun. Sebuah perjalanan panjang, yang secara otomatis telah merasakan manisnya, sekalipun juga pahitnya tidak sedikit menerpa organisasi yang lebih dikenal –mengutip peneliti luar-- sebagai komunitas Islam tradisional, baik di internal organisasi maupun perannya dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tepatnya tanggal 31 Januari dinobatkan sebagai kelahiran NU. Pasalnya, pada tanggal yang sama tahun 1926 para pendiri NU yang bergabung dalam komite Hijaz merancang sekaligus melakukan protes terhadap penguasa Arab Saudi berideologi Wahabi untuk tetap menghormati ajaran Islam lain, terutama ajaran yang dianut oleh Islam Sunni.

Pada momentum kali ini, berbagai peringatan tahunan dilakukan baik di pusat maupun cabang-cabang dengan ragam ekspresi.

Tidak ada tujuan lain kecuali rasa syukur hingga NU sampai hari ini tetap ada. Lagi-lagi berkat ketulusan para pendiri NU dengan konsistennya menjaga keberlangsungan nilai-nilai Islam Ahl al-Sunna wa al-Jama’ah (Aswaja) di bumi nusantara dan belahan dunia pada umumnya.

Namun, dalam benak penulis terbesit pertanyaan, mengapa aku sampai hari ini tetap bertahan sebagai warga NU (Nahdliyin)?

Pertanyaan ini sangat mungkin dialami oleh anak-anak muda NU (struktural/kultural) di tengah-tengah kehidupan beragama yang semakin kompleks, belum lagi arus global yang diakui atau tidak turut mempengarui cara pandang warga NU dalam melihat kenyataan hidup.

Kontestasi ideologis dengan komunitas Islam lain (radikal) nampaknya menjadi ancaman bagi NU. Tidak sedikit, mahasiswa yang lahir dari kultur NU akhirnya ikut-ikutan forum kecil yang jelas-jelas berafiliasi dengan Islam radikal. Belum lagi, upaya mereka merebut paksa aset-aset NU, seperti masjid dan mushallah, tanpa memperhatikan bahkan menghargai kearifan nilai-nilai lokal masyarakatnya.

Menggugat peribadatan NU makin nyaring di mana-mana, padahal harus diakui tidak jarang pelakunya adalah anak warga atau bahkan pengurus NU. Nampaknya, pragmatisme sesaat, baik finansial atau dalam bentuk beasiswa ke luar negeri, menjadi penyebab utama –bukan satu-satunya-- kader-kader NU hengkang ikut komunitas Islam radikal dan memutus mata rantai paham Aswaja melaui gugatannya kepada ritual-ritual NU, seperti pembid’ah-an pada tradisi Maulid Nabi dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar